Rabu, 26 Maret 2014

Renaissance

Renaissance


Abad 17 memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kebudayaan Barat. Sejarah abad 15 dan 16 ditentukan oleh penemuan-penemuan penting yaitu mesin, kompas, dan mesin cetak. Semangat baru muncul untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Semangat ini disebut semangat Renaissance yang berasal dari kata "renaitre" yang berarti kelahiran kembali manusia untuk mendapatkan semangat hidup baru. Gerakan yang menyelidiki semangat ini disebut gerakan humanisme.

Pusat-pusat aktivitas teater di Italia adalah istana-istana dan akademi. Di gedung-gedung teater milik para bangsawan inilah dipentaskan naskah-naskah yang meniru drama-drama klasik. Para aktor kebanyakan pegawai-pegawai istana dan pertunjukan diselenggarakan dalam pesta-pesta istana.

Ada tiga jenis drama yang dikembangkan, yaitu tragedi, komedi, dan pastoral atau drama yang membawakan kisah-kisah percintaan antara dewa-dewa dengan para gembala di daerah pedesaan. Namun nilai seni ketiganya masih rendah. Drama dilangsungkan dengan mengikuti struktur yang ada. Meskipun demikian gerakan mereka memiliki arti penting karena Eropa menjadi mengenal drama yang jelas struktur dan bentuknya.

Ciri-ciri teater Zaman Renaissance yakni sebagai berikut.
- Naskah lakon yang dipertunjukkan meniru teater Zaman Yunani klasik.
- Cerita bertema mitologi atau kehidupan sehari-hari.
- Tata busana dan seting yang dipergunakan sangat inovatif.
- Pelaksanaan bentuk teater diatur oleh kerajaan maupun universitas.
- Menggunakan panggung proscenium yaitu bentuk panggung yang memisahkan area panggung dengan penonton.

Pada zaman ini juga melahirkan satu bentuk teater yang disebut commedia dell'arte. Merupakan bentuk teater rakyat Italia yang berkembang di luar lingkungan istana dan akademisi. Pada tahun 1575 bentuk ini sudah populer di Italia. Kemudian menyebar luas di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk komedi yang diciptakan pada tahun 1600. Ciri khas commedia dell'arte adalah:
- Para pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut memiliki pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.
- Menggunakan naskah lakon yang berisi garis besar cerita.
- Cerita yang dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.
- Cerita terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang. Plot cerita berlangsung dalam suasana adegan lucu.
- Peristiwa cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .
- Terdapat tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan tokoh pembantu.
- Tempat pertunjukannya di lapangan kota dan panggung-panggung sederhana.
- Setting panggung sederhana, yaitu rumah, jalan, dan lapangan.

Gb.8 Panggung teater Renaissance

Selasa, 25 Maret 2014

Teater Abad Pertengahan

Teater Abad Pertengahan


Dalam tahun 1400-an dan 1500-an, banyak kota di Eropa mementaskan drama untuk merayakan hari-hari besar umat Kristen. Drama-drama dibuat berdasarkan cerita-cerita Alkitab dan dipertunjukkan di atas kereta, yang disebut pageant, dan ditarik keliling kota. Bahkan kini pertunjukan jalan dan prosesi penuh warna diselenggarakan di seluruh dunia untuk merayakan berbagai hari besar keagamaan. Para pemain drama pageant menggunakan tempat di bawah kereta untuk menyembunyikan peralatan. Peralatan ini digunakan untuk efek tipuan, seperti menurunkan seorang aktor dari atas ke panggung. Para pemain pegeant memainkan satu adegan dari kisah dalam Alkitab, lalu berjalan lagi. Pageant lain dari aktor-aktor lain untuk adegan berikutnya, menggantikannya. Aktor-aktor pageant seringkali adalah para perajin setempat yang memainkan adegan yag menunjukan keahlian mereka. Orang berkerumun untuk menyaksikan drama pageant religius di Eropa. drama ini populer karena pemainnya berbicara dalam bahasa sehari-hari, bukan bahasa Latin yang merupakan bahasa resmi gereja-gereja Kristen (Wisnuwardhono, 2002).

Gb.7 Teater abad Pertengahan

Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
- Drama dimainkan oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan masalah filsafat dan agama.
- Aktor bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri jalanan.
- Drama banyak disisipi cerita kepahlawanan yang dibumbui cerita percintaan.
- Drama dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.
- Drama tidak memiliki nama pengarang.

Senin, 24 Maret 2014

Teater Romawi Klasik

Teater Romawi Klasik


Setelah tahun 200 Sebelum Masehi kegiatan kesenian beralih dari Yunani ke Roma, begitu juga Teater. Namun mutu teater Romawi tak lebih baik daripada teater Yunani. Teater Romawi menjadi penting karena pengaruhnya kelak pada Zaman Renaissance. Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma pada tahun 240 SM (Brockett, 1964). Pertunjukan ini dikenalkan oleh Livius Andronicus, seniman Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk teater Yunani. Hampir di setiap unsur panggungnya terdapat unsur pemanggungan teater Yunani. Namun demikian teater Romawi pun memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli dimiliki oleh masyarakat Romawi dengan ciri-ciri sebagi berikut.
- Koor tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
- Musik menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi juga menjadi ilustrasi cerita.
- Tema berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
- Karakteristik tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya atau kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain sebagainya.
- Seluruh adegan terjadi di rumah, di jalan, dan di halaman.

Gb.6 Panggung teater Romawi Kuno

Bentuk-bentuk pertunjukan yang terkenal di Zaman Romawi klasik adalah:

Tragedi.
Satu-satunya bentuk tragedi yang terkenal dan berhasil diselamatkan adalah karya Lucius Anneus Seneca (4 SM - 65 M) dengan ciri-ciri sebagai berikut.
- Plot cerita terdiri dari 5 babak dengan struktur cerita yang terperinci jelas.
- Adegan berlangsung dalam ketegangan tinggi.
- Dialog ditulis dalam bentuk sajak.
- Tema cerita seputar hubungan antara alam kemanusiaan dan alam gaib.
- Menggunakan teknik monolog, bisikan-bisikan pada beberapa tokoh penting yang mengungkapkan isi hati.

Farce Pendek.
Farce (pertunjukan jenaka) sejak abad 1 SM menjadi bagian sastra dan menjadi bentuk drama yang terkenal. Bentuk pertunjukan teater tertua pada Zaman Romawi Klasik ini ciri-cirinya adalah sebagai berikut.
- Selalu menggunakan tokoh yang sama dan sangat tipikal, misalnya tokoh badut tolol yang bernama Maccus. Tokoh yang serakah dan rakus bernama Bucco. Sedangkan Pappus adalah tokoh yang tua dan mudah ditipu.
- Plot cerita berupa tipuan-tipuan dan hasutan-hasutan yang dilakukan para badut di mana musik dan tari menjadi unsur penting dalam menjaga jalannya cerita.
- Menggunakan latar suasana alam pedesaan.

Mime.
Mime muncul di Zaman Yunani sekitar abad 5 SM dan kemudian masuk Romawi sekitar tahun 212 SM dengan ciri-cirinya adalah:
- Banyak terdapat adegan-adegan lucu, singkat, dan improvisasi.
- Tokoh wanita dimainkan oleh pemain wanita.
- Para pemainnya tidak mengenakan topeng.
- Cerita yang dibawakan bertema perzinahan, menentang sakramen, dan upacara gereja.

Teater Romawi merosot setelah bentuk Republik diganti dengan kekaisaran tahun 27 Sebelum Masehi dan lenyap setelah terjadi penyerangan bangsa-bangsa Barbar serta munculnya kekuasaan gereja. Pertunjukan teater terakhir di Roma terjadi tahun 533.

Minggu, 23 Maret 2014

Teater Yunani Klasik

Teater Yunani Klasik


Tempat pertunjukan teater Yunani pertama yang permanen dibangun sekitar 2300 tahun yang lalu. Teater ini dibangun tanpa atap dalam bentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk penonton melengkung dan berundak-undak yang disebut amphitheater (Jakob Soemardjo, 1984). Ribuan orang mengunjungi amphitheater untuk menonton teater-teater, dan hadiah diberikan bagi teater terbaik. Naskah lakon teater Yunani merupakan naskah lakon teater pertama yang menciptakan dialog diantara para karakternya.

Ciri-ciri khusus pertunjukan teater pada masa Yunani Kuno adalah:
- Pertunjukan dilakukan di amphitheater.
- Sudah menggunakan naskah lakon.
- Seluruh pemainnya pria bahkan peran wanitanya dimainkan pria dan memakai topeng karena setiap pemain memerankan lebih dari satu tokoh.
- Cerita yang dimainkan adalah tragedi yang membuat penonton tegang, takut, dan kasihan serta cerita komedi yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh terkenal pada waktu itu.
- Selain pemeran utama juga ada pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi), penari, dan narator (pemain yang menceritakan jalannya pertunjukan).

Gb.4 Amphitheater

Pengarang teater Yunani Klasik, yaitu
- Aeschylus (525-SM). Dialah yang pertama kali mengenalkan tokoh prontagonis dan antagonis sehingga mampu menghidupkan peran. Karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari Agamennon , The Libatian Beavers, dan The Furies.
- Shopocles (496-406 SM) dengan karya yang terkenal adalah Oedipus The King, Oedipus at Colonus, Antigone.
- Euripides (484-406 SM) dengan karya-karyanya antara lain Medea, Hyppolitus, The Troyan Woman, Cyclops.
- Aristophanes (448-380 SM) penulis naskah drama komedi. Dengan karyanya yang terkenal adalah Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The Birds.
- Manander (349-291 SM.). Manander menghilangkan koor dan menggantinya dengan berbagai watak. Misalnya watak orang tua yang baik, budak yang licik, anak yang jujur, pelacur yang kurang ajar, tentara yang sombong dan sebagainya. Karya Manander juga berpengaruh kuat pada Zaman Romawi Klasik dan drama komedi Zaman Renaissance dan Elisabethan.

Gb.5 Pertunjukan teater Yunani Kuno

Kebanyakan drama tragedi Yunani dibuat berdasarkan legenda. Drama-drama ini sering membuat penonton merasa tegang, takut, dan kasihan. Drama komedi bersifat lucu dan kasar serta sering mengolokolok tokoh-tokoh terkenal.

Asal Mula Teater

Asal Mula Teater


Waktu dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.

- Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.

- Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.

- Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya).

Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.

Gb.2 Relief Mesir kuno

I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga terkenal sebagai Naskah Abydos yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik. Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam relief kuburan yang lebih tua. Para ahli bisa memperkirakan bahwa jalan cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM. Meskipun baru muncul sebagai naskah tertulis di tahun 2000 SM. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui juga bahwa pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater yang meliputi pemain, jalan cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu juga properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.

Gb.3 Naskah Mesir kuno

Lakon

Lakon


Teater memiliki sekurang-kurangnya empat unsur penting dalam setiap pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang ditampilkan, bisa berwujud sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak tertulis (dalam teater kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan lakon tersebut. Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung. Keempat, penonton adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari kemerdekaannya untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon dan menikmatinya.

Lakon ditulis oleh seorang penulis naskah lakon berdasarkan apa yang dilihat, apa yang dialami, dan apa yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh orang lain. Penulis kemudian menyusun rangkaian kejadian, semakin lama semakin rumit, sehingga pada puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita. Penting sekali bahwa dalam menyusun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa seorang penulis haruslah bersabar untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian lain dalam suatu perkembangan yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat sehingga akhirnya ia sampai ke puncak yang disebut klimaks.

Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, konflik. Kedua, tokoh atau peran yang terlibat dalam kejadiankejadian dalam lakon. Peristiwa atau kejadian dibuat oleh penulis naskah sebagai kerangka besar yang mendasari terjadinya suatu lakon. Peristiwa lakon tersebut menuntun seseorang untuk mengikuti laku kejadian mulai dari pemaparan, konlfik hingga penyelesaian. Konflik dalam lakon merupakan inti cerita. Tidaklah menarik sebuah cerita disajikan di atas panggung tanpa adanya konflik. Konflik dalam lakon bisa rumit bisa juga sederhana. Gagasan utama atau pesan lakon termaktub dalam konflik yang merupakan pertentangan antara satu pihak terhadap pihak lain mengenai sesuatu hal. Jalinan cerita menuju konflik dan cara penyelesainnya inilah yang menjadikan lakon menarik.

Tidak ada acuan yang pasti terhadap konflik dalam lakon yang dapat membuat cerita menjadi menarik. Terkadang konflik yang kecil dan sederhana jika diselesaikan secara cerdas akan membuat penonton takjub. Sementara, konflik yang berat, berliku, dan bercabang-cabang jika tidak disajikan secara baik justru akan membosankan dan membuat laku lakon menjadi lamban. Jadi, kalau ada anggapan bahwa semakin rumit konflik lakon semakin menarik adalah anggapan yang salah, karena peristiwa yang mengarahkan cerita kepada konflik membutuhkan tokoh sebagai pelaku. Tokoh adalah orang yang menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah. Jadi dalam lakon ada dua hal penting yang diciptakan oleh seorang penulis lakon, yaitu konflik dan tokoh yang terlibat dalam kejadian.

Penulis lakon dalam menciptakan kejadian yang bertolak dari suatu cerita mungkin tidak akan mengalami kesulitan. Akan tetapi, mencipta seorang tokoh yang logis dengan latar belakang masa lampau, hari ini, cita-cita, dan pandangannya bukan suatu hal yang gampang. Seorang tokoh yang tidak masuk akal biasanya tidak akan dimengerti atau dirasakan oleh penonton karena tokoh itu terlalu jauh dari realitas kehidupan. Seorang penulis dapat menciptakan tokoh dengan menggunakan kaidah Aristoteles, bahwa realitas adalah prinsip kreatif. Maka menciptakan kembali prinsip kreatif yang lebih sempurna dari yang ada atau dengan kata lain menciptakan manusia sebagaimana seharusnya bukan sebagaimana adanya adalah suatu kreativitas yang tidak menyimpang dari realitas itu sendiri. Hal ini biasanya digunakan oleh penulis lakon dalam mencipta tokoh-tokoh yang karikatural, yang aneh tetapi masuk akal.

Naskah lakon atau biasa disebut skenario adalah hal pertama yang berperan sebelum sampai ke tangan sutradara dan para pemeran. Naskah lakon merupakan penuangan ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan lakon. Seorang penulis lakon dalam proses berkarya biasanya bertolak dari sebuah tema. Tema itu kemudian disusun dan dikembangkan menjadi sebuah cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa yang memiliki alur yang jelas dan tokoh-tokoh yang berkarakter. Meskipun sebuah naskah lakon bisa ditulis sekehendak penulis, tetapi harus memperhitungkan atau berpegang pada asas kesatuan (unity).

Aristoteles (384-322 SM) menggariskan tiga asas kesatuan dalam teater, yaitu asas kesatuan waktu, tempat, dan lakon. Seni teater adalah seni ephemeral artinya pertunjukan bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Karena peristiwa-peristiwa yang ditampilkan di atas pentas menggambarkan kejadian-kejadian yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan selesai dalam waktu yang singkat maka harus jelas karakteristiknya, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.

Gaya Pementasan

Gaya Pementasan

 
Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:
    - Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas
    - Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada masa lakon ditulis.
    - Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
 
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga gaya besar, yaitu presentasional, representasional (realisme), dan post-realistic (Mar Mc Tigue, 1992).
 
 
1 Presentasional

Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton.

Yang termasuk dalam gaya ini adalah.
    - Teater Klasik Yunani dan Romawi
    - Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
    - Teater abad pertengahan x Commedia dell’arte, teater abad 18

Gb. 36 Gaya pementasan teater presentasional

Unsur-unsur gaya presentasional adalah sebagai berikut.
    - Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
    - Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
    - Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.

Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya presentasional, di antaranya adalah.
    - Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja Lear, Machbeth (William Shakespeare)
    - Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan (Moliere) x Oidipus (Sopokles)
    - Epos dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia


2 Representasional (realisme)
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut representasional atau biasa disebut realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.

Gaya realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur gaya representasional adalah sebagai berikut.
    - Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan.
    - Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain. x Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi. x Menggunakan bahasa sehari-hari.

Gb.37 Gaya pementasan teater representasional

Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya representasional, di antaranya adalah:
    - Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
    - Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat (Henrik Ibsen)
    - Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali Kapur (Kirdjomuljo)
    - Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
    - Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)

Dalam perkembangannya gaya representasional atau realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yang masih berada dalam ruang lingkupnya yaitu; naturalisme, realisme selektif, dan realisme sugestif (Mary McTigue, 1992).

Naturalisme merupakan sub gaya realisme yang paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dan keturunan. Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan. Panggung harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan nyata.

Tokoh naturalisme yang sangat penting ialah Emile Zola. Ia berkata bahwa “Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Sebagai gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme yang semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama kelistrikan yang dapat digunakan untuk menunjang teknik pemanggungan.

Realisme selektif, merupakan cabang gaya realisme yang memilih atau menyeleksi detil tertentu dan digabungkan dengan unsur-unsur simbolik dalam menyajikan keseluruhan tata ruang yang ada di atas pentas. Misalnya, dinding, pintu, dan jendela dibuat seperti aslinya, tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka. Sedangkan dalam realisme sugestif menggunakan bagian-bagian dari bangunan atau ruang yang dipilih dan ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambaran sugestif bentuk keseluruhannya. Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang istana dengan bantuan tata lampu yang mendukung, selebihnya adalah imajinasi.


3 Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional dan representasional) dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya teater eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam post-realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah.
 
    - Mengkombinasikan antara unsur presentasional dan representasional.
    - Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton.
    - Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberapa idiom baru atau dengan bahasa slank.
 
Beberapa gaya post-realistic yang berpengaruh adalah:
 
    - Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai teater multi media.
 
Gb.38 Simbolisme
 
    - Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang mereka tonton adalah pertunjukan teater dan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi yang berganti-ganti di hadapan penonton.
 
    - Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang terkadang muskil, tetapi hampir bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua orang.
 
Gb.39 Pentas teater surealis
 
    - Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914 dengan dramanya “Sang Anak”. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dan dalam masa yang lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme adalah Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20.
 
Gb.40 Gaya pementasan teater epik
 
    - Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya realisme, empati, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernyataan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “teater observasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.
 
    - Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “eksistensi” atau “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari? Pencarian makna “ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Objek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah Samuel Beckett, Jean Genet, Harold Pinter, Edward Albee, dan Eugene Ionesco.
 
Gb.41 Pementasan teater absurd
 

Jenis Teater

Jenis Teater


1. Teater Boneka



Pertunjukan boneka telah dilakukan sejak Zaman Kuno. Sisa peninggalannya ditemukan di makam-makam India Kuno, Mesir, dan Yunani. Boneka sering dipakai untuk menceritakan legenda atau kisahkisah religius. Berbagai jenis boneka dimainkan dengan cara yang berbeda. Boneka tangan dipakai di tangan sementara boneka tongkat digerakkan dengan tongkat yang dipegang dari bawah. Marionette, atau boneka tali, digerakkan dengan cara menggerakkan kayu silang tempat tali boneka diikatkan.

Dalam pertunjukan wayang kulit, wayang dimainkan di belakang layar tipis dan sinar lampu menciptakan bayangan wayang di layar. Penonton wanita duduk di depan layar, menonton bayangan tersebut. Penonton pria duduk di belakang layar dan menonton wayang secara langsung.

Gb.32 Pementasan teater boneka di Jepang

Boneka Bunraku dari Jepang mampu melakukan banyak sekali gerakan sehingga diperlukan tiga dalang untuk menggerakkannya. Dalang berpakaian hitam dan duduk persis di depan penonton. Dalang utama mengendalikan kepala dan lengan kanan. Para pencerita bernyanyi dan melantunkan kisahnya.
 
 
2 Drama Musikal
 
Merupakan pertunjukan teater yang menggabungkan seni menyanyi, menari, dan akting. Drama musikal mengedepankan unsur musik, nyanyi, dan gerak daripada dialog para pemainnya. Di panggung Broadway jenis pertunjukan ini sangat terkenal dan biasa disebut dengan pertunjukan kabaret. Kemampuan aktor tidak hanya pada penghayatan karakter melalui baris kalimat yang diucapkan tetapi juga melalui lagu dan gerak tari. Disebut drama musikal karena memang latar belakangnya adalah karya musik yang bercerita seperti The Cats karya Andrew Lloyd Webber yang fenomenal. Dari karya musik bercerita tersebut kemudian dikombinasi dengan gerak tari, alunan lagu, dan tata pentas.

Gb.33 Pementasan drama musikal

Selain kabaret, opera dapat digolongkan dalam drama musikal. Dalam opera dialog para tokoh dinyanyikan dengan iringan musik orkestra dan lagu yang dinyanyikan disebut seriosa. Di sinilah letak perbedaan dasar antara Kabaret dan opera. Dalam drama musikal kabaret, jenis musik dan lagu bisa saja bebas tetapi dalam opera biasanya adalah musik simponi (orkestra) dan seriosa. Tokoh-tokoh utama opera menyanyi untuk menceritakan kisah dan perasaan mereka kepada penonton. Biasanya juga berupa paduan suara. Opera bermula di Italia pada awal tahun 1600-an. Opera dipentaskan di gedung opera. Di dalam gedung opera, para musisi duduk di area yang disebut orchestra pit di bawah dan di depan panggung.
 

3 Teater Gerak

Teater gerak merupakan pertunjukan teater yang unsur utamanya adalah gerak dan ekspresi wajah serta tubuh pemainnya. Penggunaan dialog sangat dibatasi atau bahkan dihilangkan seperti dalam pertunjukan pantomim klasik. Teater gerak, tidak dapat diketahui dengan pasti kelahirannya tetapi ekspresi bebas seniman teater terutama dalam hal gerak menemui puncaknya dalam masa commedia del’Arte di Italia. Dalam masa ini pemain teater dapat bebas bergerak sesuka hati (untuk karakter tertentu) bahkan lepas dari karakter tokoh dasarnya untuk memancing perhatian penonton. Dari kebebasan ekspresi gerak inilah gagasan mementaskan pertunjukan dengan berbasis gerak secara mandiri muncul.

Gb.34 Pertunjukan teater gerak

Teater gerak yang paling populer dan bertahan sampai saat ini adalah pantomim. Sebagai pertunjukan yang sunyi (karena tidak menggunakan suara), pantomim mencoba mengungkapkan ekspresinya melalui tingkah polah gerak dan mimik para pemainnya. Makna pesan sebuah lakon yang hendak disampaikan semua ditampilkan dalam bentuk gerak. Tokoh pantomim yang terkenal adalah Etienne Decroux dan Marcel Marceau, keduanya dari Perancis.
 

4 Teater Dramatik

Istilah dramatik digunakan untuk menyebut pertunjukan teater yang berdasar pada dramatika lakon yang dipentaskan. Dalam teater dramatik, perubahan karakter secara psikologis sangat diperhatikan dan situasi cerita serta latar belakang kejadian dibuat sedetil mungkin. Rangkaian cerita dalam teater dramatik mengikuti alur plot dengan ketat. Mencoba menarik minat dan rasa penonton terhadap situasi cerita yang disajikan. Menonjolkan laku aksi pemain dan melengkapinya dengan sensasi sehingga penonton tergugah. Satu peristiwa berkaitan dengan peristiwa lain hingga membentuk keseluruhan lakon. Karakter yang disajikan di atas pentas adalah karakter manusia yang sudah jadi, dalam artian tidak ada lagi proses perkembangan karakter tokoh secara improvisatoris (Richard Fredman, Ian Reade: 1996). Dengan segala konvensi yang ada di dalamnya, teater dramatik mencoba menyajikan cerita seperti halnya kejadian nyata.

Gb.35 Gaya pementasan teater dramatik
 

5 Teatrikalisasi Puisi

Pertunjukan teater yang dibuat berdasarkan karya sastra puisi. Karya puisi yang biasanya hanya dibacakan dicoba untuk diperankan di atas pentas. Karena bahan dasarnya adalah puisi maka teatrikalisasi puisi lebih mengedepankan estetika puitik di atas pentas. Gaya akting para pemain biasanya teatrikal. Tata panggung dan blocking dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan makna puisi yang dimaksud. Teatrikalisasi puisi memberikan wilayah kreatif bagi sang seniman karena mencoba menerjemahkan makna puisi ke dalam tampilan laku aksi dan tata artistik di atas pentas.
 

Definisi Teater

Definisi Teater


Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis. Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.

Namun, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”. Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan drama adalah sebagai berikut.

Gb.1 Peta kedudukan teater dan drama

Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindaktanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).

Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006).

Keterikatan antara teater dan drama sangat kuat. Teater tidak mungkin dipentaskan tanpa lakon (drama). Oleh karena itu pula dramaturgi menjadi bagian penting dari seni teater. Dramaturgi berasal dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi membahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga pementasannya. Harymawan (1993) menyebutkan tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan formula dramaturgi. Formula ini disebut dengan formula 4 M yang terdiri dari, menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan.

M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena menemukan sesuatu gagasan yang merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada suatu persitiwa baik yang disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur tertentu. Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada kehidupan seseorang. Gagasan atau daya cipta tersebut kemudian diwujudkan ke dalam besaran cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah lakon untuk dipentaskan.

M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau pemilihan situasi yang harus dihidupkan begi keseluruhan lakon oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi ini, pengarang mulai mengatur dan menyusun kembali situasi dan peristiwa menjadi pola lakon tertentu. Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati para tokoh untuk diciptakan, dan semua unsur pembentuk lakon untuk dikomunikasikan.

M3 atau memainkan, merupakan proses para aktor memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide dan gagasan pengarang, aktor sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai orang yang mewujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan.

M4 atau menyaksikan, merupakan proses penerimaan dan penyerapan informasi atau pesan yang disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para penonton. Pementasan teater dapat dikatakan berhasil jika pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton. Penonton pergi menyaksikan pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan atas kebutuhan dan keinginannya terhadap tontonan tersebut.

Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas merupakan tahap mendasar yang harus dipahami dan dilakukan oleh para pelaku teater. Jika salah satu tahap dan unsur yang ada dalam setiap tahapan diabaikan, maka pertunjukan yang digelar bisa dipastikan kurang sempurna. Oleh karena itu, pemahaman dasar formula dramaturgi dapat dijadikan acuan proses penciptaan karya seni teater.

Facebook Comments